Rabu, 07 November 2018

Kehidupan di Dalam Penjara Suci

Oleh Uswatun Hasanah

Penjara suci
Menyandang gelar santri bukanlah suatu beban tapi semua itu termasuk kehormatan dan keistimewaan. Terkurung di dalam penjara suci yang penuh dengan aturan , tidak lantas membuat jiwa tangguh seorang santri runtuh.

Kabut pagi menutupi jalan yang terbentang di depan rumahku, yang terletak di tengah-tengah hutan yang masih jarang pemukiman rumah warga. sebut saja namaku Najwa, aku adalah putri satu-satunya dari ayahku yang tinggal di gubuk kecil kami. Hanya dengan ayah aku bertukar cerita, karena ibuku telah tiada ketika melahirkanku. Setelah aku lulus pendidikan dasar aku langsung ditempatkan ayahku di pesantren, dengan wajah polosku akupun tidak pernah bertanya mengapa aku di tempatkan di pesantren, padahal ayah hanya tinggal sendiri di rumah. Pagi harinya ayahku dengan teliti mengemasi baju-baju yang akan kubawa ke pesantren nanti. Setelah lamanya ayah mengemasi bajuku, aku langsung berpamitan dengan tetangga dekatku,  ku cium satu persatu tangan mereka dengan wajah sedihku yang kututupi dengan senyum manisku agar ayah tidak merasakan kesedihanku sembari berkata pada salah seorang tetanggaku, “doakan aku  nggeh  budhe, semoga jadi orang sukses”. “iyo  nduk…..doaku menyertaimu” sahutnya. Tibanya aku di pesantren, ayahku memberi kepercayaan kepada salah satu santriwati yang kebetulan sudah lama berada di pesantren tersebut.  Dia adalah seorang pengurus santriwati saat itu, yang biasa di panggil kak Salma.  Kak Salma selalu memperhatikanku dengan perhatian yang membuatku nyaman bersamanya, hingga aku lupa bahwa saat itu ayahku sudah pulang kerumah,setelah menyerahkan tanggungjawab penuh mendidikku kepada abah dan umi.

 Hari pertama sekolah aku teringat pesan ayah, “nak, janganlah kamu egois dengan berfikiran tidak butuh teman karna teman adalah salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan pesantren”, teringat pesan ayah, aku tidak segan-segan berkenalan dengan orang yang wajahnya asing kulihat di kelas tersebut.  Setelah aku disuruh ganti baju oleh kak Salma yang kemudian mengajakku makan di sebuah nampan besar yang beranggotakan sepuluh santri,  iya memang itu menjadi pertama kalinya aku makan bersama orang yang begitu banyak tanpa sendok serta dengan lauk seadanya yaitu sayur terong yang rasanya tidak karuan,  karna memang yang memasak makanan dari para santri yang sudah senior dan mungkin dengan bahan seadanya. Dengan lahapnya mereka menelan makanan yang masih panas karna baru saja masak. Itu  adalah suatu hal yang biasa bagi mereka.

Adzan Ashar berkumandang akupun bangun tidur untuk menunaikan kewajibanku, dilanjutkan mengaji bersama teman-teman yang kebetulan juga satu kelas di sekolah.  Sekolahku adalah madrasah yang bernaung di bawah satu pesantren yang sekarang aku tempati.  Beberapa bulan berlalu,  aku semakin akrab dengan sebagian santriwati di pesantren.

Hari-hari,  kuhabiskan dengan rutinitas pesantren yang kadang membuatku bosan.  Tiba waktunya aku melakukan aktivitas yang sangat padat,  bahkan hampir tidak ada waktu untuk istirahat, yaitu aktivitas pondok pesantren yang mengharuskanku menyelesaikan beberapa kitab dalam waktu satu bulan, sebelum para santri pulang kerumah masing-masing, untuk menyambut hari raya idul fitri.  Aku segaja mengajak temanku ( Dita, Novi dan Rita) untuk memakai baju putih yang berhias jilbab merah untuk menutupi rambutku yang panjang. Kami serempak mengenakan pakaian tersebut, kemudian berjalan ke masjid, atas rasa bahagia kami, masih bisa menjalankan aktivitas pondok pesantren pada bulan ramadhan seperti tahun-tahun biasanya. Kubuka kitabku yang baru saja aku beli sambil kupandangi tulisan arab yang tak berharakat, dengan pelan dan lantang abah melantunkan makna dari kitab yang ku pegang. Ketika itu semua santriwati dan santriwan diwajibkan berkumpul di masjid,  untuk melakukan aktivitas ngaji bersama. Tiba-tiba suara lirih terlihat berbisik ditelinga abah,
“abah, Aziz, mboten nderek jama’ah sholat ashar dan ngaji”,
kemudian dengan raut wajah marah abah mendatangi salah satu kamar dari asrama putra.  Tanpa banyak kata abah menarik paksa Aziz ke dalam masjid karena tidak mengikuti apa yang sudah ada di jadwal bulan ramadhan. abah memarahi habis- habisan dan di paksa sholat ashar diantara begitu banyaknya santri yang melihatnya . Hukuman itu termasuk hukuman yang paling ringan bagi kami,  memang abah tidak tega bila menghukum santrinya dengan hukuman berat pada bulan ramadhan. Kejadian sial menimpa ku,  aku ketahuan tidak puasa pada hari ini. Seketika itu, abah menyuruhku menghadap ke ndalem (tempat tinggal abah dan umi). Wajahku berubah cemas dengan melangkah pelan.  
Aku menghadap abah. “wes ora butuh ilmu tah sampean ki ?”,  bentak  abah dengan sorot matanya tajam. Aku terdiam dan menunduk karena  tak bisa berkata apa-apa untuk membela diriku
.Abah kembali berbicara dengan tegas “silahkan kamu duduk di depan masjid  tanpa alas sambil mengucap kalimah dzikir selama lima jam tanpa berhenti”.
 Aku pun mengangguk  pasrah  karena telah melanggar peraturan yang memang itu hukuman yang pantas  untukku, dihukum di depan masjid yang kebetulan  berdekatan dengan asrama putra.
Malam ini adalah malam yang sangat melelahkan bagiku ,apalagi ada hal yang mengharuskan aku membuka lebar-lebar mataku karena aku duduk di bangku paling depan, jadi jikalau aku tidur didepan sama saja aku meremehkan ustadz yang sedang menjelaskan pelajaran nahwu saat itu.dengan kantung mataku yang mulai membesar karna menahan kantuk, sesekali ku pejamkan mataku sekedar  mengurangi rasa kantukku.
Suara sahur terdengar sebelum subuh “sahur…sahur…sahur”, itu adalah suara salah satu santri yang kebetulan memiliki jadwal membangunkan para santri untuk sahur. Setelah sahur para santri menunaikan shalat tahajud seperti biasanya, mungkin hanya aku yang tidak sholat tahajud saat itu. Adzan Subuh berkumandang, salah satu santri yang tidur bersebelahan denganku,tiba-tiba membangunkanku “najwa,ayo cepat bangun….ada abah”, aku refleks langsung berlari ke kamar mandi untuk wudhu,seperti biasa  seringkali abah membangunkan para santri ,yang membuat kamar mandi penuh seketika.
Hilir  mudik santri  mulai terasa di pelupuk mata. Hari-hari terakhir abah dawuh,  jika beliau akan segera  mengkhatamkan  kitab dalam waktu tiga hari ke depan, sebelum para santri pulang kerumahnya masing-masing. Memang hal yang paling di tunggu bagi semua santri  yaitu ketika abah mulai mengumumkan, kapankah liburan akan berlangsung.  Karna semua keputusan tergantung apa yang di dawuhkan abah. Mungkin jikalau abah menghendaki bahwa santri-santri tidak boleh pulang pun, semua santri  hanya diam saja, sebagai tanda patuh kepada beliau.

Setelah memastikan semua kitabku terisi penuh dengan makna arab pegon, aku dan santri yang lain sowan dengan Abah dan Umi sebelum pulang, dengan langkah terburu-buru aku menghadap Abah dan Umi yang duduk diatas sofa dan bersiap menunggu para santri untuk berpamitan. Aku pun duduk di atas lantai  sambil menekuk lututku aku dan para santri bergiliran menyalami dan mencium tangan Abah  dan Umi dengan wajah bahagia aku berkata, “Umi, kulo wangsul riyen nggeh…!”.  Umi memandagiku dengan wajah tersenyum kemudian berbicara, “ hati-hati di jalan jaga sikap kalau di rumah sekarang, karena kamu sudah  menyandang gelar santri”. Abah pun menyambung perkataan Umi seraya berkata pada semua santrinya,  “kalau sudah sampai rumah sampaikan salam kami pada kedua Orang tua kalian, sholatnya di jaga harus kembali tepat waktu jika telat ingat konsekuensinya semen satu karung, paham semuanya…!!!”. Serentak kami menjawab, “nggeh  Bah…..!.  Kemudian Abah mengulurkan tangannya di susul Umi yang mengulurkan tangannya pula.
Satu jam menunggu bis di sebuah halte dekat pesantrenku, bis pun datang waktu itu bis sangat penuh hingga aku harus berdiri beberapa jam untuk bisa sampai ke rumah kecilku,  aku rela bersusah payah demi bertemu dengan sosok yang membesarkan dan membiayaiku selama ini.

Setibanya aku dirumah,  aku bingung dengan keramaian yang tak biasa ada begitu banyak orang yang minat datang kerumahku setelah ibuku tiada ku tapaki selangkah demi selangkah sampai akhirnya aku tiba di depan pintu rumahku dan aku di kejutkan dengan pandanganku pada seseorang yang berbaring ditutupi kain putihsemacam kain kafan  dan aku berjalan mendekati sosok tersebut dan aku terkulai lemas ketika seorang tetanggaku membisikkan sesuatu padaku “bapakmu Najwa….!”.  Langsung aku berlari dan kubuka kain tersebut pelan-pelan alangkah terkejutnya diriku melihat seseorang yang sangat ku sayangi,  aku hormati kini lemah tak berdaya.  Aku bergumam dalam hati, “orang pertama yang akan aku tunjukkan kesuksesanku kelak kini telah tiada”. Kini aku binggung harus bagaimana,  liburan telah usai apakah aku harus kembali ke pesantren sementara siapa yang akan membiayaiku atau aku tinggal saja di rumah dan mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupku. Aku gelar sajadah merah yang terlipat rapi di dalam almari yang kerap kali dipakai ayahku untuk mendo’akanku di sepertiga malam, kuambil sajadah tersebut ku pakai untuk sholat sampai aku tertidur diatasnya tiba-tiba aku terbangun setelah bermimpi bertemu umi. Ku peluk erat tubuhnya sambil menangis “nduk……jangan kau tangisi ayahmu lagi!!  do’akan dia, buktikan pada ayahmu  Najwa bahwa kamu anak yang tabah…!”. Umi tersenyum kepadaku kemudian hilang  entah kemana. Memang Umi bukanlah sosok yang sangat dekat denganku tapi akhir-akhir ini beliau kerap kali hadir dalam mimpiku,  mungkin Umi bisa merasakan apa yang sedang aku rasakaan saat ini.

Suara mobil Avanza hitam terdengar berhenti tepat di depan rumahku, aku bertanya-tanya  siapakah yang berada di dalam mobil tersebut, seketika itu keluarlah dua orang yang berpaikan putih elok di pandang mata yang wajahnya tak asing lagi di mataku beliau adalah Abah dan Umi.  Ku jabat serta ku cium tangan keduanya  satu persatu dengan penuh hormat, ku persilahkan duduk di ruang tamuku yang amat sempit dan segelas air menjadi hidangannya, Umi berkata “Najwa, Umi minta maaf baru mengetahui apa yang terjadi padamu”.Aku pun menjawab,”nggeh umi tidak apa-apa “, Umi lalu menyambung ,“nduk, kamu ikut Umi sama Abah ya!!  balik ke pesantren…?”.  Tanya Umi dengan penuh harap,  dengan rasa terpaksa aku menjawab, “Najwa di rumah saja umi”.Sahut Abah, “pokoknya Najwa harus ikut kami, ke pesantren nggak ada yang perlu di pertimbangkan lagi, segera kamu bersiap sebentar lagi kita akan sama-sama kembali ke pesantren”. Najwa menjawab “nggeh Bah “.

Gemerlap lampu malam menerangi pesantren,kembali ku rasakaan suasana yang sempat ku tinggalkan dalam hati aku bergumam, “aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan patuh terhadap beliau Karena sekarang merekalah orang tua baruku”.  Sebagai pengabdianku kepada beliau aku berniat untuk ta’dzim menyumbangkan tenagaku sepenuhnya untuk pesantren serta patuh dengan apa yang di perintahkan Abah dan Umi karena pesantren kini adalah tujuan hidupku.
selesai

Pelajaran yang bisa di ambil dari cerita pendek tersebut, yaitu menjadi seorang santri adalah sebuah keistimewaan,  karena tidak semua orang di takdirkan menjadi santri.  Susah,  senang, pahit,  manis dunia pesantren akan menjadi bekal seorang santri untuk hidup bermasyarakat.

Sekian dan terima kasih
     


3 komentar: