Oleh Uswatun Hasanah
Penjara suci
Menyandang gelar santri bukanlah suatu beban
tapi semua itu termasuk kehormatan dan keistimewaan. Terkurung di dalam penjara
suci yang penuh dengan aturan , tidak lantas membuat jiwa tangguh seorang
santri runtuh.
Kabut pagi menutupi jalan yang terbentang di depan
rumahku, yang terletak di tengah-tengah hutan yang masih jarang pemukiman rumah
warga. sebut saja namaku Najwa, aku adalah putri satu-satunya dari ayahku yang
tinggal di gubuk kecil kami. Hanya dengan ayah aku bertukar cerita, karena
ibuku telah tiada ketika melahirkanku. Setelah aku lulus pendidikan dasar aku
langsung ditempatkan ayahku di pesantren, dengan wajah polosku akupun tidak
pernah bertanya mengapa aku di tempatkan di pesantren, padahal ayah hanya
tinggal sendiri di rumah. Pagi harinya ayahku dengan teliti mengemasi baju-baju
yang akan kubawa ke pesantren nanti. Setelah lamanya ayah mengemasi bajuku, aku
langsung berpamitan dengan tetangga dekatku,
ku cium satu persatu tangan mereka dengan wajah sedihku yang kututupi
dengan senyum manisku agar ayah tidak merasakan kesedihanku sembari berkata
pada salah seorang tetanggaku, “doakan aku
nggeh budhe, semoga jadi orang sukses”. “iyo
nduk…..doaku menyertaimu” sahutnya. Tibanya aku di pesantren, ayahku
memberi kepercayaan kepada salah satu santriwati yang kebetulan sudah lama
berada di pesantren tersebut. Dia adalah
seorang pengurus santriwati saat itu, yang biasa di panggil kak Salma. Kak Salma selalu memperhatikanku dengan
perhatian yang membuatku nyaman bersamanya, hingga aku lupa bahwa saat itu
ayahku sudah pulang kerumah,setelah menyerahkan tanggungjawab penuh mendidikku
kepada abah dan umi.
Hari
pertama sekolah aku teringat pesan ayah, “nak,
janganlah kamu egois dengan berfikiran tidak butuh teman karna teman adalah
salah satu hal yang terpenting dalam kehidupan pesantren”, teringat pesan ayah,
aku tidak segan-segan berkenalan dengan orang yang wajahnya asing kulihat di
kelas tersebut. Setelah aku disuruh
ganti baju oleh kak Salma yang kemudian mengajakku makan di sebuah nampan besar yang beranggotakan sepuluh
santri, iya memang itu menjadi pertama
kalinya aku makan bersama orang yang begitu banyak tanpa sendok serta dengan
lauk seadanya yaitu sayur terong yang rasanya tidak karuan, karna memang yang memasak makanan dari para
santri yang sudah senior dan mungkin dengan bahan seadanya. Dengan lahapnya
mereka menelan makanan yang masih panas karna baru saja masak. Itu adalah suatu hal yang biasa bagi mereka.
Adzan Ashar berkumandang akupun bangun tidur
untuk menunaikan kewajibanku, dilanjutkan mengaji bersama teman-teman yang
kebetulan juga satu kelas di sekolah. Sekolahku adalah madrasah yang bernaung di
bawah satu pesantren yang sekarang aku tempati. Beberapa bulan berlalu, aku semakin akrab dengan sebagian santriwati
di pesantren.
Hari-hari, kuhabiskan dengan rutinitas pesantren yang
kadang membuatku bosan. Tiba waktunya
aku melakukan aktivitas yang sangat padat, bahkan hampir tidak ada waktu untuk istirahat,
yaitu aktivitas pondok pesantren yang
mengharuskanku menyelesaikan beberapa kitab dalam waktu satu bulan, sebelum
para santri pulang kerumah masing-masing, untuk menyambut hari raya idul fitri.
Aku segaja mengajak temanku ( Dita, Novi
dan Rita) untuk memakai baju putih yang berhias jilbab merah untuk menutupi
rambutku yang panjang. Kami serempak mengenakan pakaian tersebut, kemudian
berjalan ke masjid, atas rasa bahagia kami, masih bisa menjalankan aktivitas
pondok pesantren pada bulan ramadhan seperti tahun-tahun biasanya. Kubuka
kitabku yang baru saja aku beli sambil kupandangi tulisan arab yang tak
berharakat, dengan pelan dan lantang abah melantunkan makna dari kitab yang ku
pegang. Ketika itu semua santriwati dan santriwan diwajibkan berkumpul di
masjid, untuk melakukan aktivitas ngaji
bersama. Tiba-tiba suara lirih terlihat berbisik ditelinga abah,
“abah, Aziz, mboten nderek jama’ah sholat ashar dan
ngaji”,
kemudian dengan raut wajah marah abah mendatangi salah satu kamar
dari asrama putra. Tanpa banyak kata
abah menarik paksa Aziz ke dalam masjid karena tidak mengikuti apa yang sudah
ada di jadwal bulan ramadhan. abah memarahi habis- habisan dan di paksa sholat
ashar diantara begitu banyaknya santri yang melihatnya . Hukuman itu termasuk hukuman
yang paling ringan bagi kami, memang
abah tidak tega bila menghukum santrinya dengan hukuman berat pada bulan
ramadhan. Kejadian sial menimpa ku, aku
ketahuan tidak puasa pada hari ini. Seketika itu, abah menyuruhku menghadap ke ndalem (tempat tinggal abah dan umi).
Wajahku berubah cemas dengan melangkah pelan.
Aku menghadap abah. “wes ora
butuh ilmu tah sampean ki ?”, bentak
abah dengan sorot matanya tajam. Aku terdiam dan menunduk karena tak bisa berkata apa-apa untuk membela diriku
.Abah kembali berbicara dengan tegas “silahkan kamu duduk di depan
masjid tanpa alas sambil mengucap
kalimah dzikir selama lima jam tanpa berhenti”.
Aku pun
mengangguk pasrah karena telah melanggar peraturan yang memang
itu hukuman yang pantas untukku, dihukum
di depan masjid yang kebetulan berdekatan
dengan asrama putra.
Malam ini adalah malam yang sangat melelahkan
bagiku ,apalagi ada hal yang mengharuskan aku membuka lebar-lebar mataku karena
aku duduk di bangku paling depan, jadi jikalau aku tidur didepan sama saja aku
meremehkan ustadz yang sedang menjelaskan pelajaran nahwu saat itu.dengan
kantung mataku yang mulai membesar karna menahan kantuk, sesekali ku pejamkan
mataku sekedar mengurangi rasa kantukku.
Suara sahur terdengar sebelum subuh “sahur…sahur…sahur”,
itu adalah suara salah satu santri yang kebetulan memiliki jadwal membangunkan
para santri untuk sahur. Setelah sahur para santri menunaikan shalat tahajud
seperti biasanya, mungkin hanya aku yang tidak sholat tahajud saat itu. Adzan Subuh
berkumandang, salah satu santri yang tidur bersebelahan denganku,tiba-tiba
membangunkanku “najwa,ayo cepat bangun….ada abah”, aku refleks langsung berlari
ke kamar mandi untuk wudhu,seperti biasa seringkali abah membangunkan para santri ,yang
membuat kamar mandi penuh seketika.
Hilir
mudik santri mulai terasa di
pelupuk mata. Hari-hari terakhir abah dawuh,
jika beliau akan segera mengkhatamkan
kitab dalam waktu tiga hari ke depan, sebelum para santri pulang
kerumahnya masing-masing. Memang hal yang paling di tunggu bagi semua
santri yaitu ketika abah mulai
mengumumkan, kapankah liburan akan berlangsung. Karna semua keputusan tergantung apa yang di dawuhkan abah. Mungkin jikalau abah
menghendaki bahwa santri-santri tidak boleh pulang pun, semua santri hanya diam saja, sebagai tanda patuh kepada
beliau.
Setelah memastikan semua kitabku terisi penuh
dengan makna arab pegon, aku dan
santri yang lain sowan dengan Abah
dan Umi sebelum pulang, dengan langkah terburu-buru aku menghadap Abah dan Umi
yang duduk diatas sofa dan bersiap menunggu para santri untuk berpamitan. Aku
pun duduk di atas lantai sambil menekuk
lututku aku dan para santri bergiliran menyalami dan mencium tangan Abah dan Umi dengan wajah bahagia aku berkata, “Umi, kulo wangsul riyen nggeh…!”. Umi memandagiku dengan wajah tersenyum
kemudian berbicara, “ hati-hati di jalan jaga sikap kalau
di rumah sekarang, karena kamu sudah
menyandang gelar santri”. Abah pun menyambung perkataan Umi seraya
berkata pada semua santrinya, “kalau
sudah sampai rumah sampaikan salam kami pada kedua Orang tua kalian, sholatnya
di jaga harus kembali tepat waktu jika telat ingat konsekuensinya semen satu
karung, paham semuanya…!!!”. Serentak kami menjawab, “nggeh Bah…..!. Kemudian Abah mengulurkan tangannya di susul Umi
yang mengulurkan tangannya pula.
Satu jam menunggu bis di sebuah halte dekat pesantrenku, bis pun
datang waktu itu bis sangat penuh hingga aku harus berdiri beberapa jam untuk
bisa sampai ke rumah kecilku, aku rela bersusah
payah demi bertemu dengan sosok yang membesarkan dan membiayaiku selama ini.
Setibanya aku dirumah, aku bingung dengan keramaian yang tak biasa
ada begitu banyak orang yang minat datang kerumahku setelah ibuku tiada ku
tapaki selangkah demi selangkah sampai akhirnya aku tiba di depan pintu rumahku
dan aku di kejutkan dengan pandanganku pada seseorang yang berbaring ditutupi
kain putihsemacam kain kafan dan aku
berjalan mendekati sosok tersebut dan aku terkulai lemas ketika seorang
tetanggaku membisikkan sesuatu padaku “bapakmu Najwa….!”. Langsung aku berlari dan kubuka kain tersebut
pelan-pelan alangkah terkejutnya diriku melihat seseorang yang sangat ku
sayangi, aku hormati kini lemah tak
berdaya. Aku bergumam dalam hati, “orang
pertama yang akan aku tunjukkan kesuksesanku kelak kini telah tiada”. Kini aku
binggung harus bagaimana, liburan telah
usai apakah aku harus kembali ke pesantren sementara siapa yang akan
membiayaiku atau aku tinggal saja di rumah dan mencari pekerjaan untuk
kelangsungan hidupku. Aku gelar sajadah merah yang terlipat rapi di dalam
almari yang kerap kali dipakai ayahku untuk mendo’akanku di sepertiga malam, kuambil
sajadah tersebut ku pakai untuk sholat sampai aku tertidur diatasnya tiba-tiba
aku terbangun setelah bermimpi bertemu umi. Ku peluk erat tubuhnya sambil
menangis “nduk……jangan kau tangisi
ayahmu lagi!! do’akan dia, buktikan pada
ayahmu Najwa bahwa kamu anak yang
tabah…!”. Umi tersenyum kepadaku kemudian hilang entah kemana. Memang Umi bukanlah sosok yang
sangat dekat denganku tapi akhir-akhir ini beliau kerap kali hadir dalam
mimpiku, mungkin Umi bisa merasakan apa
yang sedang aku rasakaan saat ini.
Suara mobil Avanza hitam terdengar berhenti tepat
di depan rumahku, aku bertanya-tanya
siapakah yang berada di dalam mobil tersebut, seketika itu keluarlah dua
orang yang berpaikan putih elok di pandang mata yang wajahnya tak asing lagi di
mataku beliau adalah Abah dan Umi. Ku
jabat serta ku cium tangan keduanya satu
persatu dengan penuh hormat, ku persilahkan duduk di ruang tamuku yang amat
sempit dan segelas air menjadi hidangannya, Umi berkata “Najwa, Umi minta maaf
baru mengetahui apa yang terjadi padamu”.Aku pun menjawab,”nggeh umi tidak apa-apa “, Umi lalu menyambung ,“nduk, kamu ikut Umi sama Abah ya!! balik ke pesantren…?”. Tanya Umi dengan penuh harap, dengan rasa terpaksa aku menjawab, “Najwa di
rumah saja umi”.Sahut Abah, “pokoknya Najwa harus ikut kami, ke pesantren nggak
ada yang perlu di pertimbangkan lagi, segera kamu bersiap sebentar lagi kita
akan sama-sama kembali ke pesantren”. Najwa menjawab “nggeh Bah “.
Gemerlap lampu malam menerangi
pesantren,kembali ku rasakaan suasana yang sempat ku tinggalkan dalam hati aku
bergumam, “aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan patuh terhadap beliau
Karena sekarang merekalah orang tua baruku”. Sebagai pengabdianku kepada beliau aku berniat
untuk ta’dzim menyumbangkan tenagaku
sepenuhnya untuk pesantren serta patuh dengan apa yang di perintahkan Abah dan Umi
karena pesantren kini adalah tujuan hidupku.
selesai
Pelajaran yang bisa di ambil dari cerita pendek
tersebut, yaitu menjadi seorang santri adalah sebuah keistimewaan, karena tidak semua orang di takdirkan menjadi
santri. Susah, senang, pahit, manis dunia pesantren akan menjadi bekal
seorang santri untuk hidup bermasyarakat.
Sekian dan terima kasih
masuk
BalasHapusHiks hiks hiks
BalasHapusmakasih sudah membaca....
BalasHapus